BAB II TINJAUAN PUSTAKA

                       
BAB  II
TINJUAN PUSTAKA
A.    Subyek Hukum Pidana
Subyek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban yang terdiri orang atau manusia dan badan hukum. Untuk dapat memahami pengertian dari pelaku perbuatan pidana narkotika, berdasarkan subyek hukum pada umumnya, sekarang dicari pengertian dari pelaku perbuatan pidana narkotika, di mana kata “pelaku” telah menunjukkan bahwa dia adalah subjek hukum manusia. Dan kata “perbuatan” sama artinya dengan “tindakan” dari asal kata “tindak”. Di sini bahwa pelaku perbuatan pidana dapat di sebut sebagai “subyek tindak pidana”.
Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subyek  tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman atau pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.
Selain manusia sebagai subjek hukum, badan hukum juga merupakan subjek hukum yang merupakan perkumpulan dari orang-orang, di mana badan hukum turut serta di dalam pergaulan hidup di dalam masyarakat, dari adanya perkumpulan orang-orang tersebut menimbulkan gejala-gejala yang apabila dilakukan oleh oknum, dapat masuk dalam segala perumusan segala tindak pidana.
Pengenaan hukuman pidana hanya dapat dikenakan terhadap oknum atau perseorangan yang melakukan dan berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum contohnya seorang direktur.
Namun suatu perkumpulan sebagai badan hukum tersendiri juga dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subjek suatu tindak pidana. Hukuman pidana ini tentunya hanya yang berupa denda, yang dapat dibayar dari kekayaan perkumpulan. Contoh perbuatan tersebut adalah gagasan yang merata dari putusan dewan direksi. Seperti halnya yang dinyatakan dalam pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu :
Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak di pidana.
Di dalam pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini menunjukkan bahwa yang dapat dikenakan pidana adalah oknum atau perseorangan yang melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan pidana. Sedangkan pengurus, anggota maupun komisaris yang tidak ikut campur tidak dapat dikenakan pidana.
Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan di mana pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, munurut Moeljatno menyatakan :
Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum. Larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum di larang dan di ancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
Perbuatan pidana atau tindak pidana mempunyai unsur penting yang tidak dapat dipisahkan yaitu kelakuan dan akibat, di mana apa yang dilakukan  oleh manusia atau seseorang akan menimbulkan suatu akibat, misalnya seseorang mencuri maka akibatnya dia akan dikenakan sanksi pidana berdasarkan dengan apa yang dilakukan menurut bab 12 tentang Pencurian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Berkaitan dengan pengertian dari subyek tindak pidana, wujud perbuatan sebagai unsur dari tindak pidana pertama-tama dapat dilihat dalam perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana, dalam bahasa Belanda dinakaman delictus omschrijuving. Perumusan secara “formal” benar-benar disebutkan ujud suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia seperti dalam tindak pidana “mencuri”, perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang”. Sedangkan perumusan secara “materiel” menyebutkan suatu akibat yang disebabkan karena perbuatannya, seperti dalam tindak pidana “membunuh”, dalam pasal 338 Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana (KUHP) dirumuskan sebagai “mengakibatkan matinya orang lain”. Perumusan secara “formal” dan “materiil” ini sama-sama menunjukkan bahwa suatu perbuatan mengandung akibat yang merupakan alasan diancamkannya hukuman pidana, dan akibat tersebut selalu suatu kerugian pada kepentingan orang lain ataupun kepentingan negara.
Tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir atau lebih dari satu orang, dalam hukum pidana biasa disebut sebagai kejahatan korporasi.
Pengertian dari korporasi menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korporasi merupakan kumpulan orang dan atau kekayaan yang berorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, jadi meski tidak berbentuk badan hukum asalkan merupakan kumpulan orang dan atau kekayaan yang berorganisasi maka dapat disebut sebagai subyek hukum, seperti yang terdapat dalam beberapa undang-undang yang menyatakan bahwa selain manusia secara pribadi yang dapat dikenakan pidana atau sebagai subyek hukum pidana adalah korporasi, istilah korporasi misalnya terdapat dalam pasal 80 ayat 4 huruf (c) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menyatakan “ …… dilakukan oleh korporasi, di pidana denda….” Dan juga terdapat dalam pasal 59 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menyebutkan “Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda…..” Selain undang kedua undang-undang ini masih banya undang-undang dengan ketentuan pidana yang menyebutkan bahwa subyek hukum pidana selain manusia secara pribadi juga korporasi sebagai subyek hukum pidana.
B.    Narkotika Sebagai Obyek Hukum
Setelah dijelaskan mengenai subyek hukum pada umumnya dan subyek hukum pidana berkaitan dengan mencari pengertian dari pelaku perbuatan pidana narkotika, di mana ada subyek pasti ada obyek, untuk itu penulis mencoba untuk mencari pengertian dari narkotika sebagai obyek hukum.
Yang di maksud dengan obyek hukum adalah segala sesuatu
yang berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dalam bahasa hukum, obyek hukum dapat juga di sebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/ atau dimiliki subyek hukum. Misalnya, A meminjamkan buku kepada B. di sini yang menjadi obyek hukum dalam hubungan hukum antara A dan B adalah buku. Buku menjadi obyek hukum dari hak yang dimiliki A.
Ada yang mengartikan hak sebagai izin atau kekuasaan yang diberikan hukum. Ada juga yang mengidentifikasikan hak dengan wewenang. Dalam bahasa latin, hak dan/ wewenang diberi istilah ius, sedangkan dalam bahasa Inggris diberi istilah right. Dalam bahasa Prancis digunakan istilah droit, sedangkan dalam bahasa Belanda digunakan istilah recht. Menyalahgunakan hak dalam bahasa Belanda di sebut misbruik van recht dan dalam bahasa Prancis di sebut abus de droit, sedangkan menyalahgunakan kekuasaan dalam bahasa Prancis disebut deouterment de pouvoir.
Untuk membedakan hak dan hukum, dalam bahasa Belanda digunakan istilah Subjectief recht untuk hak, dan objectief recht untuk hukum atau peraturan-peraturan yang menimbulkan hak bagi seseorang.  Sedangkan Apeldoorn mengartikan hak sebagai hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan. Hak timbul apabila hukum mulai bergerak.
Berdasarkan pengertian obyek hukum di atas, menerangkan bahwa narkotika dapat disebut sebagai objek hukum berdasarkan hak dan/ atau wewenang, misalnya saja bagi seorang dokter dia mempunyai hak dan/ atau wewenang untuk menggunakan narkotika sebagai obat untuk pasiennya, seperti yang tercantum dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang menyatakan:
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan dan di larang untuk kepentingan lainnya.26)

Meskipun seorang dokter mempunyai hak dan/ wewenang menggunakan narkotika sebagai kepentingan pelayanan kesehatan maupun untuk pengembangan ilmu pengetahuan namun di dalam memperolehnya seorang dokter tidak berhak memperoleh narkotika dari sembarang tempat karena hak tidak dapat terlepas dari hukum yang berlaku, berdasarkan pasal 7 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 menentukan :
Pasal 6
(1)    Menteri kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
(2)    Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana di maksud dalam ayat (1). Menteri kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.
(3)    Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana di maksud dalam ayat (2) menjadi pedoman panduan, pengendalian dan pengawasan narkotika secara nasional
(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika dengan keputusan menteri kesehatan.
Pasal 7
(1)    Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri dan/ atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan  tahunan  narkotika  sebagaimana  di maksud dalam pasal 6 ayat (2).
(2)    Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan dan tanggung jawab menteri kesehatan.27)
Secara umum hak dapat dibedakan menjadi dua yakni :
1.    Hak Mutlak
Adalah suatu hak yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, dan sebaliknya siapa pun wajib memghormati hak tersebut.
2.    Hak Nisbi
Adalah  suatu  hak  yang  memberi  wewenang  kepada seseorang untuk menuntut
agar orang lain memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.
Jadi bagi pengguna narkotika hanya mempunyai hak nisbi, dan itupun tidak semua orang dapat menggunakan narkotika, semua harus melalui aturan dan pengaturan baik untuk kepentingan kesehatan maupun pengembangan ilmu pengetahuan.
Selain hak yang dapat menjadi obyek hukum, benda juga dapat di sebut sebagai obyek hukum. Secara yuridis pengertian dari benda (zaak) adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau menjadi obyek hak milik (pasal 499 BW). Jadi menurut undang-undang “benda” hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau dapat dimiliki orang, dan segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang tidak termasuk pengertian benda (menurut BW), contoh : udara, bintang, bulan, matahari, laut, dan lain sebagainya.
Menurut sistem hukum perdata barat yang diatur dalam BW, benda dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu :
1.    Benda tak bergerak dan benda bergerak.
Ada tiga golongan benda tak bergerak
a.    Benda yang menurut sifatnya tak bergerak
b.    Benda yang menurut tujuan pemakaian agar tidak bersatu dengan benda tak bergerak, contoh : mesin-mesin yang dimasukkan supaya terus menerus digunakan untuk menjalankan pabrik.
c.    Benda menurut penetapan undang-undang sebagai benda tak bergerak, contoh: kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas (WvK)
Sedangkan benda bergerak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a.    Menurut sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, contoh : sepeda, meja, kursi dan sebagainya.
b.    Menurut penetapan undang-undang adalah segala hak atas benda-benda bergerak contoh : hak memetik hasil, hak memakai, saham-saham dari perseroan dagang, dan lain sebagainya.
2.    Benda-benda yang musnah dan benda-benda yang tetap ada.
Benda-benda yang musnah adalah benda-benda yang dalam pemakaiannya akan atau dapat musnah, contoh : makanan, minuman, yang apabila dimakan atau diminum akan mendapat manfaat kesehatan. Dan benda yang tetap ada adalah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan musnahnya benda tersebut, nemun dapat memberi manfaat, contoh : mobil, motor, dan sebagainya.
3.    Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi.
Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila dibagi tidak menyebabkan benda tersebut kehilangan hakikatnya, contoh : beras, gula, tepung, obat. Dan benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang hakikatnya akan hilang atau musnah apabila benda tersebut dibagi, contoh : kuda, sapi, dan lain sebagainya.
4.    Benda yang dapat diganti (contoh : uang) dan benda yang tidak dapat diganti (contoh : seekor kuda).
5.    Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak
diperdagangkan.
Benda yang diperdagangkan adalah semua benda yang dapat dijadikan pokok perjanjian di lapangan harta kekayaan dan termasuk benda yang diperdagangkan, sedangkan benda yang tidak diperdagangkan adalah benda-benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum.
    Dari pengertian mengenai obyek hukum baik yang di maksud benda maupun hak dan/ atau wewenang, menunjukkan bahwa narkotika merupakan bagian dari objek hukum, di mana narkotika merupakan bagian dari benda bergerak, benda yang musnah, benda yang dapat dibagi, dan narkotika juga merupakan suatu hak bagi mereka yang benar-benar membutuhkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
C.     Pengertian Penyalahgunaan
Penyalahgunaan dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penyalahgunaan terhadap narkotika dan psikotropika. Dimana bahwa penyalahgunaan narkotika dan psikotropika ini diambil dan dipersamakan dengan pengertian penyalahgunaan narkoba seperti yang disebutkan Lutfi Braja yakni memberikan pembatasan mengenai penyalahgunaan yaitu:
“Pemakaian narkoba di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakaiannya bersifat patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktifitas di rumah, di sekolah, atau di kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial. Ketergantungan narkoba adalah kondisi yang kebanyakan diakibatkan oleh penyalahgunaan zat yang disertai dengan adanya toleransi zat (dosis semakin tinggi) dan gejala putus zat.”
Permasalahan penyalahgunaan mengakibatkan dampak yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika antara lain merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktifitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik dan perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial (perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan, dan kriminalitas lainnya.
Dari kata penyalahgunaan menandakan bahwa Narkotika dan Psikotropika tidak selalu bermakna negatif. Dengan begitu, narkotika dan psokitropika yang digunakan dengan baik dan benar oleh dokter untuk mengobati pasiennya tidak termasuk narkoba karena kata narkoba hanya yang disalahgunakan. Di dalam dunia medis, narkoba diberi nama NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif Lainnya).

D.    Jenis dan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika

Dari kata penyalahgunaan narkoba menandakan bahwa narkoba tidak selalu bermakna negatif. Dengan begitu, narkotika dan psokitropika yang digunakan dengan baik dan benar oleh dokter untuk mengobati pasiennya tidak termasuk narkoba karena kata narkoba hanya yang disalahgunakan. Di dalam dunia medis, narkoba diberi nama NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif Lainnya).  Dalam penelitian ini, hanya dibahas tentang narkotika dan psikotropika, maka sebelumnya, dipaparkan terlebih dahulu berbagai jenis narkotika dan psikotropika sebagai berikut:
1.    Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun bukan sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.  Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini” .
Narkotika memiliki daya adikasi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkeramannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis jenis narkotika dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya, karena daya aditifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya aditif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain. Sedangkan narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya aditif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengbatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein, dan turunannya.
Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan juga, yaitu narkotika alami, narkotika semisintesis, dan narkotika sintesis. Dijelaskan sebagai berikut :
1) Narkotika alami
Narkotika alami adalah narkotika yang zat aditifnya diambil dari tumbuh¬tumbuhan (alam). Contohnya:
a.    Ganja
Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai
daun singkong yang tepinya bergerigi dan berbulu halus.
Jumlah jari daunnya selalu ganjil yakni 5, 7, 9. Tumbuhan ini banyak tumbuh di beberapa daerah di Indonesia seperti
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Pulau Jawa dan
lain-lain. Daun ganja ini sering digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Bila digunakan sebagai bumbu masak, daya aditifnya rendah. Namun, tidak demikian apabila dibakar dan asapnya dihirup. Cara penyalahgunaannya adalah dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau dijadikan rokok lalu dibakar
serta dihisap.
b.    Haisis
Hasis adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, hasis, dan mariyuana juga dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair, harganya sangat mahal. Gunanya adalah untuk disalahgunakan oleh pemadat-pemadat kelas tinggi.
c.    Koka
Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya
yang matang berwarna merah seperti biji kopi. Dalam
komunitas masyarakat Indian Kuno, biji koka sering digunakan untuk menambah kekuatan orang yang berperang atau
berburu binatang. Koka kemudian bisa diolah menj adi
kokain.
d.    Opium
Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah bunga opium dihasilkan candu (opiat). Di Mesir dan daratan Cina, opium dahulu digunakan untuk mengobati beberapa penyakit, memberi kekuatan atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu berperang atau berburu. Opium banyak tumbuh di ”segitiga emas” antara Burma, Komboja dan Thailand, atau di daratan Cina dan ”segitiga emas” Asia Tengah, yaitu daerah antara Afganistan, Iran, dan Pakistan. 
Dalam kalangan perdagangan Internasional, ada kebiasaan (keliru) menamai daerah tempat penanaman opium sebagai daerah ”emas”. Diberi nama demikian karena perdagangan opium sangat menguntungkan. Karena bahayanya yang besar, daerah seperti itu keliru jika diberi nama predikat emas. Daerah sumber produksi opium sepantasnya disebut ”segitiga setan” atau ”segitiga iblis”.
2)     Narkotika semisintesis
Narkotika semisintesis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil zat aktifnya (intisarinya) agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran. Contohnya:
a.    Morfin: dipakai dalam dunia kedokteran untuk menghilangkan rasa sakit atau pembiusan pada operasi (pembedahan);
b.    Kodein: dipakai untuk obat penghilang batuk;
c.    Heroin: tidak dipakai dalam pengobatan karena daya aditifnya sangat besar dan manfaatnya secara medis belum ditemukan. Dalam perdagangan gelap, heroin diberi nama putaw atau pete atau pt. Bentuknya seperti tepun terigu yang halus putih, dan agak kotor.
d.    Kokain: hasil olahan dari biji koka.
3)      Narkotika sintesis
Narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari
bahan kimia. Narkotika ini digunakan untuk pembiusan
dan pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan. Contohnya
a.    Petidin: untuk obat bius lokal, operasi kecil, sunat dan sebagainya;
b.    Methadon: untuk pengobatan pecandu narkoba; dan
c.    Naltrexon: untuk pengobatan pecandu narkoba.
Selain untuk pembiusan, narkotika sintesis biasanya diberikan oleh dokter kepada penyalahguna narkoba untuk menghentikan kebiasaannya yang tidak kuat melawan sugesti (relaps) atau sakaw. Narkotika sintesis berfungsi sebagai ”pengganti sementara”. Bila sudah benar-benar bebas, asupan narkoba sintesis ini dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya berhenti total.
2.    Psikotropika
Pengertian psikotropika menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah “Zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”.
Pengertian Psikotropika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak ditemukan. Hal tersebut sehubungan dengan ketentuan di dalam Pasal 153 huruf b, yaitu, ”Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-¬Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karenanya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak ada lagi di dalam pasal-pasalnya yang mengatur mengenai Psikotropika karena sudah dimasukkan ke dalam golongan Narkotika.
Sesuai dengan pembahasan dalam penelitian ini masih berhubungan dengan Psikotropika, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika masih perlu untuk dibahas dalam penelitian ini. Menurut undang¬undang tersebut, Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika ini merupakan obat yang digunakan oleh dokter untuk mngobati gangguan jiwa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, psikotropika dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan.
Golongan I yaitu psikotropika dengan daya aditif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya saat ini. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP. Golongan II yakni psikotropika dengan daya aditif kuat serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya. Golongan III yakni psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya. Golongan IV yakni psikotropika yang memiliki daya aditif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah netrazepam (BK, Mogadon, Dumolid), diazepam, dan lain-lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang dimaksud dengan pasikotopika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :
1.    Psikotropika golongan I yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya ekstasi, shabu, LSD;
2.    Psikotropika golongan II yakni psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya amfetamin, metilfenidat atau ritalin ;
3.    Psikotropika golongan III yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya entobarbital, Flunitrazepam; dan
4.    Psikotropika golongan IV yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contohnya diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG.
Sedangkan kelompok dan jenis psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain:
1.    Psikostimulansia seperti amfetamin, ekstasi, dan shabu;
2.    Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur) seperti MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain; dan
3.    Halusinogenika seperti Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom. Berdasarkan ilmu farmakologi, psikotropika dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan yakni depresan, stimulan, dan halusinogen sebagai berikut:
a.    Kelompok depresan / penekan syaraf pusat / penenang /
obat tidur. Contohnya adalah valium, BK, rohipnol,
mogadon, dan lain-lain. Jika diminum, obat ini dapat memberikan rasa tenang, mengantuk, rasa tenteram,
dan damai. Obat ini juga menghilangkan rasa takut dan
gelisah.
b.    Kelompok stimulan/perangsang syaraf pusat/anti tidur. Contohnya adalah amfetamin, ekstasi, dan shabu. Ekstasi berbentuk tablet beraneka bentuk dan warna. Amfetamin berbentuk tablet berwarna putih. Bila diminum obat ini mendatangkan rasa gembira, hilangnya rasa permusuhan, hilangnya rasa marah, ingin selalu aktif, badan terasa fit, dan tidak merasa lapar. Daya kerja otak menjadi serba cepat, namun kurang terkendali. Shabu berbentuk tepung kristal kasar berwarna putih bersih seperti garam.
c.    Kelompok halusinogen. Halusinogen adalah obat zat, tanaman, makanan, yang dapat menimbulkan khayalan contohnya yaitu LSD (Lysergic Acid Diethyltamide), getah tanaman kaktus, kecubung, jamur tertentu (misceline), dan ganja. Bila diminum spikotropika jenis ini dapat menimbulkan khayalan tentang peristiwa-peristiwa yang mengerikan, khayalan tentang kenikmatan seks, dan sebagainya. Kenikmatan didapat oleh pemakai setelah pemakai sadar bahwa peristiwa mengerikan itu bukan kenyataan, atau karena kenikmatan¬kenikmatan yang dialami, walaupun hanya khayalan.
E.    Pertanggung jawaban Pidana
        Undang-undang Pidana itu hanya berlaku terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan sebelum undang-undang pidana itu diadakan. Jadi undang-undang itu hanya berlaku untuk masa depan dan tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan-perbuatan sebelum diadakannya perbuatan tersebut. pendirian itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi :”Segala perbuatan tidak dapat dihukum selain atas aturan kekuatan pidana dalam undang-undang, yang
diadakan sebelum perbuatan itu terjadi.” Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan terhadap perbuatan pidana (dader) jika melakukan perbuatan kejahatan atau pelanggaran atas delik. Menurut Smidt menyatakan sebagai berikut :
        Kejahatan adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht ataus sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. 
        Dalam buku Hukum Pidana edisi I karya Sudarto, disebutkan ada dua golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan dualistis/ dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat. 
Penjelasan :
1)    Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.
Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos, perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan. 
2)    Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.   
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi suatu pertanggungjawaban perbuatan pidana. Yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggung jawab adalah :
a.    Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
b.    Kemampuan untuk melakukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Sedangkan batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah : “Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” (pasal 44 ayat (1) KUHP). Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.
3)    Mempunyai suatu bentuk kesalahan.
Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakan padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan yang sedemikian itu.
Sedangkan menurut Simons, kesalahan adalah : “Keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sedemikian rupa, hingga orang itu dapat tercela karena perbuatannya itu.
Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan mengandung dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang dimaksud perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak, yaitu :
a.    Kesengajaan sebagai maksud (Dolus Derictus)
b.    Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan.
c.    Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus Eventualis).
Menurut pendapat Simons mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat yaitu :
a.    Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum.
b.    Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana menurut hukum.
Sedangkan kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu :
a.    Pembuat membuat lain daripada seharusnya ia berbuat menurut hukum terrtulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum.
b.    Selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah.
c.    Akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan lengah.
4)    Tidak adanya alasan pemaaf
Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf. Yang dimaksud alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapuskan kesalahan. Kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan).  Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.
Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah :
a.    Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang
yang terletak dalam orang itu (inwendig), misalnya hilangnya
akal, dll.
b.    Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll.
Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut :
a.    Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.
b.    Pasal 48 mengenai daya memaksa
c.    Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa
d.    Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.
Jika memenuhi salah satu dari ketentuan tersebut diatas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana akan tetapi harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dimintai pertanggungjawaban pidana.


sekian untuk pembahasannya kali ini n moga bermanfaat buat pembaca.....!!!

BAB I Pendahuluan


BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Narkotika  dan  Psikotropika  merupakan  bahan – bahan  yang diperlukan  dalam  kehidupan  karena  dapat  memberikan  efek terapeutik (efek  pengobatan).  Kata  Narkotika  berasal  dari  bahasa Yunani  Narcose  yang  artinya  pingsan.  Kata  ini  juga  berarti menidurkan  yang  sampai  sekarang  masih  dipakai  dibagian  anastesi  yang  berarti  menghilangkan  kesadaran  pasien  pada  waktu dilaksanakannya  operasi.
Obat–obatan  ini  disamping  mempunyai  efek  samping  euphoria,  yaitu  rasa  senang,  gembira,  dan  bahagia.  Efek inilah yang diinginkan  oleh  para  pecandu.  Penggunaan  secara  berulang – ulang  dapat  menimbulkan  ketergantungan  baik  fisiologis  maupun  psikologis.  Obat  Narkotika dan  Psikotropika harus  diberikan  dalam  takaran, ukuran,  atau  dosis  yang  sesuai  dan  waktu  pemberian  yang  tepat.  Tidak  boleh  melebihi  dosis  dan  waktu  yang  sembarangan.
Penyimpangan–penyimpangan  medis  yang  dilakukan  sangatlah berbahaya,  selain  dapat  menimbulkan  ketergantungan  Obat – obatan  juga  menimbulkan  efek  yang  sama  diperlukan  dosis  yang  lebih  besar.  Menimbulkan  gejala  berupa  Craving  (keinginan  yang  sangat  kuat  untuk  mendapatkan  obat),  mual,  muntah,  gelisah,  demam,  mencret,  tidak  suka  makan,  menguap,  badan  sakit  semua,  mudah  tersinggung,  otot  mengejang,  keluar  ingus,  keluar  keringat,  keluar  air  mata  dan  susah  tidur.  Pada  masyarakat  dewasa  ini  sudah  banyak  yang  mengerti  bahaya  dari  Narkotika  dan  Psikotropika,  tetapi  masih  banyak  orang  menyalahgunakannya.
Tugas pengadilan dalam perkara pidana ialah mengadili semua delik yang tercantum dalam perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan (dituntut) kepadanya untuk diadili. Dalam hal kekuasaan mengadili, ada dua macam yang biasa disebut dengan kompetensi, yaitu sebagai berikut:
1.    Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht) kepada suatu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan pada pengadilan lain.
2.    Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (distributie van rechtsmacht) diantara satu macam (pengadilan-pengadilan negeri). Yang tersebut pertama disebut kompetensi mutlak (absolute kompetentie) dan yang kedua disebut kompetensi relatif (relatieve kompetentie).
           Sebagai dasar hukum dinyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sudah tidak berlaku lagi adalah merujuk kepada Pasal 153 dan Pasal 155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya dalam penelitian ini disebut Undang-Undang Narkotika yang Baru), yaitu :
Dengan berlakunya Undang-Undang ini :
a.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan
b.    Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan yang baru sanksinya cukup berat ditambah dengan denda yang sangat tinggi, sanksi tersebut ditujukan agar penyalahgunaan Narkotika dapat dikurangi. Akan tetapi dalam kenyataannya yang terjadi  malah  sebaliknya.
Penyebab utama meluasnya peredaran Narkotika dan  Psikotropika  adalah  tidak  adanya  keseriusan  dan  ketegasan  pemerintah  selama  ini  dalam  menangani  masalah  Narkotika  dan  Psikotropika.
 Hal inilah  yang  dapat  mengindikasikan  bahwa  banyak  pejabat tinggi  di  negeri  ini  terlibat  dalam  peredaran  Narkotika  dan Psikotropika  dengan  berbagai  jenis  beredar  melalui jaringan  yang sangat  rapi  dengan  para  sindikat  pengedar  Narkotika  internasional. Kerapihan  itu  didukung  dengan  keterlibatan  oknum  aparat  penegak hukum  dan  polisi.
           Masalah  Narkotika  dan  Psikotropika  ini  sebenarnya  masalah yang  cukup  lama  tapi  tak  ditangani  secara  serius,  contohnya  ganja, heroin,  sabu – sabu,  dan  putau.  Dimasa  orde  baru,  terdapat kekuasaan  yang  melindungi  sindikat  peredaran  Narkotika  dan Psikotropika  yang  menyebabkan  polisi  sering  putus  asa  menghadapi kejahatan  tersebut  dan  juga  karena  lemahnya  aparat  penegak hukum. Memberantas  Narkotika dan  Psikotropika  sepertinya  Militer  dan Polisi  tidak  mau  bersungguh – sungguh  karena  banyak  dari  mereka yang  terlibat.  Contohnya,  ISMAIL HAIDIR BIN ABD. HAIYAT yang merupakan anggota Polri di Maros telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalah Guna Narkotika Gol. I bagi Diri Sendiri” sebagaimana dalam dakwaan Subsidair dengan bukti yang di peroleh 1 (satu) paket plastik yang isinya shabu-shabu dengan berat + 0,0841 gram,Terdakwa ditahan sejak tanggal 26 Juli 2010   di lapas dan di adili di  Pengadilan Negeri  Maros dan kejadian tersebut terjadi  pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2010 sekitar jam 21.00 wita di Jl. Urip Sumoharjo tepatnya depan Rumah Sakit Ibnu Shina Makassar dan terdakwa di jatuhi  hukuman pidana selama satu tahun dua bulan  yang di kurangkan dengan seluruhnya tahanan sementara yang di jalankan oleh terdakwa.
    Berdasarkan alasan tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk melakukan penilitian yang berjudul : TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA POLRI PADA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI KABUPATEN MAROS.
B.    Rumusan Masalah    
Dari latar  belakang  masalah  diatas  dapat  ditarik  permasalahan–permasalahan  yang  akan  dibahas  sebagai  berikut :
1.    Bagaimana pertimbangan hakim dalam proses penjatuhan sanksi
pada kasus penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika oleh Anggota Polri ?
2.    Bagaimana Proses Hukum terhadap kasus penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropikan oleh anggota Polri di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Maros?
C.    Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian dalam penulisan skripsi ini, penulis mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Supaya penelitian ini dapat berguna
dalam bidang akademik dan ilmu pengetahuan baik untuk
mahasiswa pada khususnya maupun masyarakat umum yang diantaranya, yaitu :
1.    Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam proses penjatuhan sanksi terhadap Anggota Polri dalam penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika di Kabupaten Maros.
2.    Untuk mengetahui Proses Hukum terhadap kasus penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropikan oleh anggota Polri di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Maros.
D.    Alasan Pemilihan Judul
        Penulisan  skripsi ini  merupakan  buah  pikiran  yang  disumbangkan  oleh  penulis  dan  dituangkan  dalam  bentuk  skripsi  agar dapat diambil manfaatnya oleh  pihak – pihak  yang  memerlukannya. Adapun alasan pemilihan judul : TINJAUAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA POLRI PADA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI KABUPATEN MAROS, adalah dikarenakan dengan adanya kasus penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika di kalangan aparat penegak hukum dalam hal ini anggota Polri, yang mana kasus tersebut biasanya terjadi pada kalangan masyarakat yang kurang mengerti tentang hukum. Dengan alasan itulah penulis tertarik untuk mengambil judul tersebut.